Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini, terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga akan mengurangi resiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur ulang sisa tanaman.
Agroforestry system (Source: http://extention.missouri.edu) |
Direktur ICRAF (K.F.S. King) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler, 1978 dalam Affandi 2002).
Selanjutnya King menyebutkan beberapa bentuk Agroforestri, seperti :
- Agrisilviculture, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memprodusi sekaligus hasil - hasil pertanian dan kehutanan.
- Sylvopastoral systems, yaitu sistem pegelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak.
- Agrosylvo-pastoral systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memprodusi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
- Multipurpose forest tree production systems, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya. Akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak.
Nair (1989) telah meninjau kembali definisi - definisi tersebut, dan mengusulkan untuk menggunakan definisi yang dirumuskan oleh Lundgren dan Raintree dimana agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem - sistem pengunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu atau pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb, ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan.
Menurut definsi tersebut, sistem - sistem agroforestri mencakup selang variasi yang cukup luas dan dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nair, 1989) :
a. Dasar struktural : menyangkut komposisi komponen-komponen, seperti sistem-sistem Agrisivilkultur, Silvopastur, dan Agrisilvopastur.
b. Dasar fungsional : menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem terutama komponen kayu-kayuan.
c. Dasar sosial ekonomi : menyangkut tingkat masukan dalam pegelolaan (masukan rendah, masukan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan atau tujuan-tujuan usaha (subsistem, komersial, intermediet).
d. Dasar ekologi : menyangkut kondisi lingkungan dan kecocokan ekologi sistem.
Nair (1987) membedakan antara sistem agroforestri dan teknologi agroforestri. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri yang banyak diselenggarakan di suatu daerah, dengan lain perkataan suatu cara pemanfaatan lahan yang sudah umum dilakukan di daerah tersebut. Istilah teknologi agroforestri menunjukkan adanya perbaikan atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian, dan digunakan dengan hasil yang baik dalam mengelola sistem-sistem agroforestri yang telah diselenggarakan. Teknologi agroforestri yang cukup terkenal, oleh Nair tersebut antara lain : Improved fallow, integrated taungya, alley cropping, mutipurpose trees on farm lands, dsb.
Menurut De Foresta et al. (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu :
- Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacangkacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial.
Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera.
- Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996).
Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest kompleks. Pekarangan biasanya terletak disekitar tempat tinggal, luasnya terbatas (sekitar 0.1 – 0.3 ha) dan sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun, karang kitri dsb. Agroforestri kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaik (gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1 - 2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif. Contoh: kebun karet, kebun damar dsb.
Ghina, apakah "Banjar Harian" itu termasuk sistem silvikultur juga? atau sistem kompensasi terhadap tenaga kerja?
BalasHapusterimakasih