Langsung ke konten utama

Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim

Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily memiliki arti yaitu pengurangan. Adapun adaptation atau adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat, dan pada saat bersamaan dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada, sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin kelangsungan hidup manusia.



Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Adapun beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-use, recycling, dan lain-lain.

Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program mereka – berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi nonpemerintah, serta pihak swasta.

Di tahun-tahun belakangan ini masyarakat dunia semakin meresahkan efek pemanasan global dan di awal tahun 1990an telah mengonsep United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), yang diberlakukan pada 1994. Di dalam kerangka ini mereka mengajukan dua strategi utama: mitigasi dan adaptasi (Boks 5). Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau ‘penyerap’ karbon lainnya. Sementara itu adaptasi,mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat – bertindak untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya.

Kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia. Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan. Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida – yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita. Seperti yang akan diungkap laporan ini, bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim - dan bila kita tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.

Apa yang dapat kita lakukan terhadap semua ini? Sejauh ini,perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada ‘mitigasi’ dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil saja terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini – beradaptasi. Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah ‘adaptasi’, banyak yang telah berpengalaman dalam ‘adaptasi’ ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka. 

Adaptasi dalam perencanaan pembangunan

Yang jadi masalah saat ini adalah bahwa adaptasi dapat dilihat hanya sebagai masalah lingkungan hidup semata – dan merupakan tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal, semua departemen pemerintahan dan badan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim ini ke dalam program masing-masing. Berbagai persoalan besar seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, perencanaan tata ruang, ketahanan pangan, pemeliharaan infrastruktur, pengendalian penyakit, perencanaan perkotaan, semuanya mesti ditinjau ulang dari perspektifperubahan iklim.

Tantangannya adalah membuat perencanaan pembangunan menjadi ‘tangguh terhadap iklim’. Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan. Kemudian strategi adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus ditingkatkan di bidang-bidang yang khusunya rentan terhadap perubahan iklim dan dibutuhkan berbagai investasi tambahan untuk menggiatkan pengurangan risiko bencana.

Semua upaya ini juga harus dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat masyarakat dan rumah tangga. Bagaimanapun, masyarakat sudah berpengalaman lama dalam beradaptasi – dengan berbagai tindakan yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang rentan banjir sejak dulu membangun rumah panggung dan banyak masyarakat masa kini masih meneruskan praktik ini, meski bahan-bahan yang digunakan sudah modern seperti tiang beton atau genteng besi.Di wilayah rawan longsor, orang-orang membangun tanggul penahan longsor yang kukuh. Para petani yang terpapar kemarau panjang sudah belajar untuk mendiversifikasikan sumber pendapatan mereka, menanam tanaman pangan yang tahan kekeringan dan mengoptimalkan penggunaan air yang terbatas, bahkan bermigrasi sementara untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Apakah itu melalui prakarsa di tingkat publik atau individual, adaptasi hendaknya mencakup penguatan sumber-sumber penghidupan dan mengurangi kerentanannya.Hal ini akan mempersyaratkan suatu perubahan dalam arah pembangunan.

Di masa lalu sebagian besar pembangunan di Indonesia didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam – dengan manfaat ekonomi yang dinikmati di perkotaan dan biaya lingkungannya dibebankan ke wilayah pedesaan. Pola itu harus diubah. Baik masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan sudah seyogyanya menargetkan pembangunan manusia yang berkelanjutan dan ancaman perubahan iklim kini makin mendesakkan kepentingannya. Jika kita tidak mengubah pola pembangunan,maka seluruh sumber daya yang tersedia bagi rakyat – pangan, air, dan wilayah pemukiman kemungkinan dapat menjadi makin sulit didapat. Perubahan pola pembangunan ini memerlukan strategi adaptasi yang lebih luas yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta – memadukan antara pendekatan pada tingkat pemerintahan dan kelembagaan dengan pendekatan bottom-up yang berakar pada pengetahuan kewilayahan, kebangsaan, dan lokal. Sementara adaptasi merupakan faktor vital dalam seluruh aktivitas pembangunan, secara khusus adaptasi penting dilakukan dalam bidang-bidang pertanian,wilayah pesisir, penyediaan air, kesehatan dan wilayah perkotaan, dengan air memainkan peran lintas sektoral di berbagai bidang ini.

Adaptasi dalam pertanian

Di antara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah para petani Indonesia. Sejauh ini, para petani diJawa berhasil menanam padi dua kali dalam setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua tampaknya akan menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, para petani yang sudah banyak berpengalaman mengatasi dampak buruk kejadian iklim yang ekstrem akan harus lebih banyak beradaptasi lagi di masa mendatang. Mereka, misalnya akan perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman pangan memiliki kapasitas adaptasi secara alamiah, seperti jenis padi hasil persilangan yang berbunga pada waktu dini hari sehingga dimungkin terhindar dari suhu lebih tinggi di siang hari. Para petani juga mungkin dapat menggunakan varietas yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrem – kemarau panjang, genangan air, intrusi air laut – atau berbagai varietas padi yang lekas matang yang cocok untuk musim hujan yang lebih pendek. Para petani juga perlu mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan bahan-bahan organik bagi tanah supaya lebih mampu menahan air – yaitu dengan menggunakan lebih banyak pupuk alamiah

Prioritas lainnya adalah pengelolaan air yang lebih baik. Caranya mungkin adalah dengan lebih banyak berinvestasi untuk irigasi dan juga dalam menampung dan menyimpan air – untuk menyeimbangkan peningkatan curah hujan di bulan April, Mei dan Juni, dengan penurunan curah hujan di bulan Juli, Agustus, dan September. Para petani mungkin akan lebih tangguh menghadapi perubahan iklim bila mereka memiliki perkiraan cuaca yang akurat dan tahu bagaimana harus merespon perubahan itu. Jika, misalnya, mereka dapat menyesuaikan waktu tanam dengan turun hujan pertama, mereka akan dapat memanen hasil yang lebih baik karena tanaman pangan mereka memperoleh lebih banyak unsur penyubur. Atau jika mereka tahu tahun itu akan menjadi tahun kemarau, maka mereka dapat mengganti tanaman pangan – mungkin dengan menanam kacang hijau, dan bukan padi. Mereka juga dapat beralih ke tanaman pangan yang lebih tinggi nilai jualnya meski hal ini bergantung pada kualitas benih dan masukan serta berbagai bantuan tambahan. Sementara itu mereka juga dapat melakukan penyesuaian antara menanam tanaman pangan dan memelihara ternak. Akhirnya, para petani yang tengah menghadapi atau sudah mengalami tahun gagal panen, dapat beradaptasi dengan bekerja di bidang non-tani,mungkin dengan bermigrasi sementara ke daerah lain atau ke kota lain.

Saat ini meski para petani ini sudah mendapatkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika,mereka mungkin tidak tahu bagaimana menginterpretasikan informasi itu. Suatu prakarasa untuk menjembatani hal ini adalah Sekolah Lapang Iklim seperti yang diadakan di Indramayu yang bertujuan menerjemahkan perkiraan ilmiah iklim ke dalam bahasa petani yang lebih sederhana dan melatih para petani untuk merespon.

Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah garapan mereka tidak subur,misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak memiliki modal. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala kelembagaan atau kultural.Dalam berbagai kasus seperti ini, pemerintah bisa membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru.

Adaptasi di wilayah pesisir

Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum: 
  1. ‘membuat perlindungan’, yaitu dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove; 
  2. ‘mundur’, dengan bermukim jauh dari pantai, atau 
  3. ‘melakukan penyesuaian’, yaitu (misalnya) dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.

Adaptasi untuk penyediaan air 

Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu – dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.

Adaptasi untuk bidang kesehatan

Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat.Dan karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, maka diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.

Adaptasi untuk wilayah perkotaan


Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan dilanda banjir, kita membutuhkan berbagai strategi yang lebih handal untuk mengurangi risiko perubahan iklim.


Adaptasi dalam pengelolaan bencana

Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya ‘pengelolaan yang cermat’ terhadap bencana. Alih-alih hanya merespon setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.



Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Sektor
Dampak
Adaptasi
Pengairan
Kendala suplai irigasi dan air minum, dan peningkatan salinitas
Intrusi air asin ke daratan dan aquifer pantai
Perencanaan, pembagian air, komersialisasi
Suplai air alternatif, mundur
Ekosistem Darat
Peningkatan salinitas  di lahan pertanian dan aliran air
Kepunahan Keanekaragaman Hayati
Peningkatan resiko kebakaran
Invasi Gulma
Perubahan praktek penggunaan lahan
Pengelolaan Pertamanan
Pengelolaan lahan, Perlindungan thd. Kebakaran
Pengelolaan Pertamanan
Ekosistem Air
Salinisasi lahan sawah di wil. Pantai
Perubahan ekosistem sungai dan sawah
Eutropikasi
Intervensi fisik
Perubahan alokasi air
Perubahan alokasi air, mengurangi aliran masuk hara
Ekosistem Pantai
Perusakan terumbu karang
Limbah beracun
Penyemaian terumbukarang (?)
Pertanian dan kehutanan
Penurunan produktivitas, resiko banjir dan kekeringan, resiko kebakaran hutan
Perubahan pada pasar global
Peningkatan serangan hama dan penyakit
Peningkatan produksi oleh peningkatan CO2 diikuti dengan penurunan produksi oleh perubahan iklim
Perubahan pengelolaan dan kebijakan, perlindungan terhadap kebakaran dan peramalan musim
Pemasaran, perencanaan , dan perdaganngan Karbon.
Pengendalian terpadu, penyemprotan
Merubah teknik usaha tani dan industri
Hortikultur
Dampak campuran + dan – tergantung  spesies dan lokasi
Relokasi
Perikanan
Perubahan tangkapan
Monitoring, pengelolaan
Perumahan, industri
Peningkatan dampak banjir, badai dan kenaikan muka air laut
Pewilayahan, perencanaan bencana
Kesehatan
Ekspansi dan perluasan vektor penyakit
Peningkatan polusi fotokimia udara
Karantina, eradikasi atau pengendalian
Pengendalian emisi

Menurut penggolongan IPCC, Indonesia tidak termasuk dalam negara katagori Annex I (negara-negara maju). Menurut UU no 6 tahun 1994, yaitu UU pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim, Indonesia tidak wajib ikut menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela. Menurut UU lingkungan hidup no 23 tahun 1997, menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah suatu yang harus dilakukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Jadi upaya mengurangi laju emisi GRK menjadi keharusan dalam rangka melestarikan lingkungan.

Dalam UU No. 6 tahun 1994, jika negara bukan anggota Annex I ikut dalam upaya menekan emisi GRK ataupun melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, maka dalam melakukan upaya tersebut berhak menggunakan dana Climate Change Fund yang disediakan oleh UNFCC. Agar dapat memanfaatkan dana ini, Indonesia harus melakukan beberapa tahapan antara lain (Murdiyarso, 2001; Boer, 2001):

  • Penyusunan data base dan sistim informasi 
  • Kajian ilmiah dan kemampuan prediksi serta analisis dampak perubahan iklim 
  • Menyusun Building Capacity dalam rangka adaptasi terhadap dampak perubahan iklim 
  • Menyiapkan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah 
  • Menyiapkan perangkat hukum dan perundangan 
  • Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat. 
* * *
Sumber :
  • United Nations Development Programme – Indonesia, 2007. Sisi lain perubahan iklim - Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. ISBN: 978-979-17069-0-2
  • Meiviana, Armely, Diah R Sulistiowati, Moekti H Soejachmoen, 2004. BUMI MAKIN PANAS - ANCAMAN PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA. Kerjsama Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan, Pelangi dan JICA.
dalam: http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Itemid=41

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-macam Bentuk Daun

Contoh bentuk-bentuk daun Masing-masing dedaunan yang tumbuh di berbagai tumbuhan di dunia ini memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditunjukkan dari berbagai hal, yaitu bentuk daun keseluruhan, bentuk ujung dan pangkal daun, permukaan daun, dan tata daunnya (Tabel 1). Tabel 1  Berbagai istilah dalam menjelaskan bentuk-bentuk daun  No Istilah Penjelasan Istilah Bentuk Daun 1 Deltate Bentuk delta, menyerupai bentuk segitiga sama sisi 2 Elliptical Ellips, bagian terlebar di bagian tengah daun 3 Elliptical Oblong Berbentuk antara ellips sampai memanjang 4 Lanceolate Bentuk lanset, panjang 3-5 x lebar, bagian terlebar sekitar 1/3 dari pangkal dan menyempit di bagian ujung daun 5 Oblong Memanjang, panjang daun sekitar 2 ½ x lebar 6 Oblong lanceolate Berbentuk antara memanjang sampai lanset 7 Oblong obov

Ekosistem Mangrove: Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove

Hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan dilihat dari sisi sungai (Dokumentasi Penelitian Ghufrona 2015) Ekosistem mangrove dapat berkembang baik di daerah pantai berlumpur dengan air yang tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar serta eksistensinya bergantung pada adanya aliran air tawar dan air laut. Samingan (1971) menyatakan bahwa kebanyakan mangrove merupakan vegetasi yang agak seragam, selalu hijau dan berkembang dengan baik di daerah berlumpur yang berada dalam jangkaan peristiwa pasang surut.  Komposisi mangrove mempunyai batas yang khas dan batas tersebut berhubungan atau disebabkan oleh efek selektif dari: (a) tanah, (b) salinitas, (c) jumlah hari atau lamanya penggenangan, (d) dalamnya penggenangan, serta (e) kerasnya arus pasang surut. Pertumbuhan vegetasi mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, kimia, dan biologis) yang sangat kompleks, antara lain: 1.       Salinitas Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai f

Cara Cepat dan Mudah Belajar Menggunakan GPS

GPS ( Global Positioning System ) sudah menjadi alat yang wajib dibawa bagi para surveyor dalam melakukan pengamatan vegetasi, satwaliar, fisik lingkungan, dan sebagainya. Dengan menggunakan GPS, kita dapat menentukan lokasi geografis dari suatu titik pengamatan maupun track perjalanan survey. Fungsi altimeter sebagai alat pengukur ketinggian suatu lokasi dan kompas untuk menentukan arah azimuth sudah dapat diwakili dengan menggunakan GPS.   "Cara menggunakan GPS itu susah / ribet gak sih?" Silahkan cek Cara Cepat dan Mudah Belajar Menggunakan GPS berikut ini >>